Selasa, 21 September 2021

IKRAR/PADAN ANTARA MARGA RUMAHORBO DENGAN MARGA SIALLAGAN

“Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang;

Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan.”

 

Horas,

Pada masyarakat Batak, sering terjadi ikrar/padan antara satu marga dengan marga yang lain. Ikrar/padan tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antar satu kelompok keluarga dengan kelompok keluarga lainnya yang berbeda marga.

Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan kepada keturunannya masing-masing agar tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walau berlainan marga, tetapi dalam setiap ikrar pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menghormati. 

Hal inilah yang terjadi pada dua Marga keturunan Raja Tambatua dimana mereka awalnya di negeri Tamba kemudian pergi merantau menuju daerah Ambarita. Mereka merantau dalam waktu yang berbeda diamana adiknya lebih dahulu merantau ke Ambarita kemudian disusul oleh abangnya. Menurut silsilah/tarombo Raja Naiambaton bahwa Marga Siallagan dan Marga Rumahorbo adalah abang adik beda bapak tapi sama-sama keturunan dari Tamba tua. Tamba tua anaknya tiga; 1. Tamba Sitonggor; 2. Tamba Lumban tonga-tonga; 3. Tamba Lumban toruan. Dan  Marga Siallagan adalah keturunan dari Tamba Sitonggor dan Marga Rumahorbo adalah keturunan dari Tamba Lumban toruan. Marga Rumahorbo secara garis keturunan harus memanggil abang ke Marga Siallagan karena keturunan anak paling sulung. Namun semua itu berubah saat berada diAmbarita, karena adanya ikrar/padan yang dibuat dan disepakati kedua marga. Kisahnya adalah bahwa Marga Rumahorbo sudah lebih dulu tinggal di Ambarita dan sudah memiliki keluarga, tempat tinggal, komunitas dan daerah kekuasaan, baru beberapa lama kemudian Marga Siallagan datang menyusul. Saat tiba diAmbarita Marga Siallagan belum tahu harus tinggal dirumah siapa, karena belum ada yang dikenal. Pada saat itu kondisi Ambarita mungkin penduduknya masih sedikit dan juga penduduknya cenderung masih tertutup, tidak ada yang mau dan berani memberi tumpangan rumah. Kemudian menemukan rumah Marga Rumahorbo dan memberanikan diri untuk meminta tumpangan untuk singgah, karena menganggap Marga Rumahorbo adalah sebagai adiknya. Tapi karena kebetulan yang ada dirumah hanya istri Marga Rumahorbo maka tidak diperbolehkan masuk. Istri Marga Rumahorbo tidak berani menerima Marga Siallagan kerumah, karena ada aturan adat yang mengatur, bahwa seorang anak sulung tidak boleh masuk kerumah adiknya, bila hanya istri adiknya yang dirumah. Sesuatu yang tidak boleh dilanggar karena dianggap pantang/tabu. Karena kondisi cuaca dingin sekali, sehingga sangat membutuhkan tempat untuk berteduh dan istirahat, maka dengan memohon kepada istri Marga Rumahorbo, kemudian Marga Siallagan memberi syarat yaitu siap menjadi adik Marga Rumahorbo, asalkan diperbolehkan masuk kerumah. Dengan syarat tersebut maka Marga Siallagan diperbolehkan masuk kerumah. Sejak saat itulah Marga Rumahorbo menjadi sulung dari Marga Siallagan atau Marga Rumahorbo memanggil adik/bapak uda ke Marga Siallagan, bila didaerah Ambarita. Dan tradisi Marga Rumahorbo sisulung masih terbawa juga sampai ke sumatera timur dan sekitarnya.  Sesuai dengan kesepakatan bersama tokoh adat kedua Marga dan disponsori oleh keturunan dari Tambatua yang lain maka ikrar/padan ini hanya berlaku diAmbarita saja. Sampai saat ini, ikrar ini masih berlaku dalam kehidupan sehari-sehari, dimana Marga Rumahorbo adalah lebih sulung dari Marga Siallagan diAmbarita. Kecuali dalam acara pesta adat yang diadakan di daerah Ambarita, bahwa Marga Siallagan  sudah dihormati sebagai anak sulung, dan Marga Rumahorbo sebagai adiknya.  Demikianlah sedikit kisah ikrar/padan antara Marga Rumahorbo dan Marga Siallagan untuk kita pahami. Semoga menambah wawasan kita semua, tanpa ada niat mengecilkan pihak lain. Dikisahkan kembali oleh Evendi S. Rumahorbo; Binjai.


0 komentar :

Posting Komentar