IKRAR/PADAN
ANTARA MARGA RUMAHORBO DENGAN MARGA SIALLAGAN
“Togu urat ni
bulu, toguan urat ni padang;
Togu nidok ni
uhum, toguan nidok ni padan.”
Horas,
Pada masyarakat Batak, sering
terjadi ikrar/padan antara satu marga dengan marga yang lain. Ikrar/padan
tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau
antar satu kelompok keluarga dengan kelompok keluarga lainnya yang berbeda
marga.
Mereka berikrar akan memegang teguh
janji tersebut serta memesankan kepada keturunannya masing-masing agar tetap
diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walau berlainan marga, tetapi
dalam setiap ikrar pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang
berikrar itu saling menghormati.
Hal inilah yang terjadi pada dua
Marga keturunan Raja Tambatua dimana mereka awalnya di negeri Tamba kemudian
pergi merantau menuju daerah Ambarita. Mereka merantau dalam waktu yang berbeda
diamana adiknya lebih dahulu merantau ke Ambarita kemudian disusul oleh
abangnya. Menurut silsilah/tarombo Raja Naiambaton bahwa Marga Siallagan dan
Marga Rumahorbo adalah abang adik beda bapak tapi sama-sama keturunan dari
Tamba tua. Tamba tua anaknya tiga; 1. Tamba Sitonggor; 2. Tamba Lumban
tonga-tonga; 3. Tamba Lumban toruan. Dan Marga Siallagan adalah keturunan
dari Tamba Sitonggor dan Marga Rumahorbo adalah keturunan dari Tamba Lumban
toruan. Marga Rumahorbo secara garis keturunan harus memanggil abang ke Marga
Siallagan karena keturunan anak paling sulung. Namun semua itu berubah saat
berada diAmbarita, karena adanya ikrar/padan yang dibuat dan disepakati kedua
marga. Kisahnya adalah bahwa Marga Rumahorbo sudah lebih dulu tinggal di
Ambarita dan sudah memiliki keluarga, tempat tinggal, komunitas dan daerah
kekuasaan, baru beberapa lama kemudian Marga Siallagan datang menyusul. Saat
tiba diAmbarita Marga Siallagan belum tahu harus tinggal dirumah siapa, karena
belum ada yang dikenal. Pada saat itu kondisi Ambarita mungkin penduduknya
masih sedikit dan juga penduduknya cenderung masih tertutup, tidak ada yang mau
dan berani memberi tumpangan rumah. Kemudian menemukan rumah Marga Rumahorbo
dan memberanikan diri untuk meminta tumpangan untuk singgah, karena menganggap Marga
Rumahorbo adalah sebagai adiknya. Tapi karena kebetulan yang ada dirumah hanya
istri Marga Rumahorbo maka tidak diperbolehkan masuk. Istri Marga
Rumahorbo tidak berani menerima Marga Siallagan kerumah, karena ada aturan adat
yang mengatur, bahwa seorang anak sulung tidak boleh masuk kerumah adiknya,
bila hanya istri adiknya yang dirumah. Sesuatu yang tidak boleh dilanggar
karena dianggap pantang/tabu. Karena kondisi cuaca dingin sekali, sehingga
sangat membutuhkan tempat untuk berteduh dan istirahat, maka dengan memohon
kepada istri Marga Rumahorbo, kemudian Marga Siallagan memberi syarat yaitu
siap menjadi adik Marga Rumahorbo, asalkan diperbolehkan masuk kerumah. Dengan
syarat tersebut maka Marga Siallagan diperbolehkan masuk kerumah. Sejak saat
itulah Marga Rumahorbo menjadi sulung dari Marga Siallagan atau Marga Rumahorbo
memanggil adik/bapak uda ke Marga Siallagan, bila didaerah Ambarita. Dan
tradisi Marga Rumahorbo sisulung masih terbawa juga sampai ke sumatera timur
dan sekitarnya. Sesuai dengan kesepakatan bersama tokoh adat kedua Marga dan
disponsori oleh keturunan dari Tambatua yang lain maka ikrar/padan ini hanya
berlaku diAmbarita saja. Sampai saat ini, ikrar ini masih berlaku dalam
kehidupan sehari-sehari, dimana Marga Rumahorbo adalah lebih sulung dari Marga
Siallagan diAmbarita. Kecuali dalam acara pesta adat yang diadakan di
daerah Ambarita, bahwa Marga Siallagan sudah dihormati sebagai anak
sulung, dan Marga Rumahorbo sebagai adiknya. Demikianlah sedikit kisah
ikrar/padan antara Marga Rumahorbo dan Marga Siallagan untuk kita pahami.
Semoga menambah wawasan kita semua, tanpa ada niat mengecilkan pihak lain.
Dikisahkan kembali oleh Evendi S. Rumahorbo; Binjai.
0 komentar :
Posting Komentar